Minggu, 27 Maret 2011

Penyebab Ketidakstabilan Politik di Indonesia


Berikut ini 2 (DUA) faktor yang menyebabkan ketidakstabilan politik suatu negara, termasuk Negara Kesatuan Republik Indonesia:


1.     Partisipasi Politik yang menyimpang.

Partisipasi politik merupakan usaha terorganisir dari warga negara untuk memilih pemimpin mereka serta untuk mempengaruhi kebijakan – kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Partisipasi Politik di Indonesia diwujudkan melalui Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden & Wakil Presiden, Pemilihan Anggota Legislatif (Pileg), & Pemilihan Kepala Daerah. Rakyat Indonesia juga bisa berpartisipasi untuk dipilih dan mewakili aspirasi politik rakyat lainnya melalui keikutsertaan dalam Partai Politik.

Beberapa peneliti LIPI pernah mengadakan penelitian mengenai interaksi partai politik dengan masyarakat pasca Pemilu 2004. Hasilnya cukup mengagetkan. Interaksi antara masyarakat dan partai politik hampir sebagian besar hanya terjadi menjelang dan selama masa pemilihan umum. Parpol tiba-tiba menghilang ketika pesta demokrasi usai dan para wakil rakyat terpilih duduk di lembaga legislatif. Usainya pemilu dan terpilihnya para anggota lembaga legislatif sekaligus menandai berakhirnya dinamika dan kehidupan parpol. Terpilihnya mereka membuat aktivitas di parpol semakin surut. Kegiatan parpol berpindah ke lembaga legislatif. Padahal justru interaksi parpol dengan masyarakat merupakan faktor penting dalam membangun pemerintahan lokal yang aspiratif dan berpihak pada kepentingan umum. 

Kenyataan itu menumbuhkan sikap tak percaya dari masyarakat, meningkatnya Golongan Putih (Goput), dan menimbulkan ketidakstabilan politik.

Lebih jauh lagi, apabila kita membandingkan antara perilaku para elit politik, baik di legislatif maupun di eksekutif, dengan kondisi dan kemelaratan yang dialami oleh rakyat kecil belakangan ini, akan nampak pemandangan yang paradoks. Di satu sisi, para elit politik bergelimang dengan kekayaan dan kemewahan, mengantre untuk mendapat kenaikan gaji dan tunjangan lainnya. Sementara rakyat kecil harus bertahan hidup walau dengan terpaksa harus makan nasi aking, daging daur ulang yang ditemukan di tempat-tempat sampah, makanan sisa-sisa yang dibuang dari restoran-restoran atau hotel-hotel, mengantri minyak tanah sampai berpuluh-puluh meter, dan sebagainya. Padahal bangsa Indonesia katanya memiliki semua persyaratan untuk berhasil : demokrasi yang stabil, kekayaan alam yang melimpah, serta pasar yang besar. Akan tetapi, sayangnya Indonesia masih terpuruk seperti sekarang ini.

Tragedi yang memalukan, memilukan dan menyayat nurani rakyat ini boleh jadi akan berdampak pada pemilu yang sebentar lagi akan digelar. Berbagai sikap pesimistis, ketidakpercayaan dan apatis rakyat terindikasi dalam pelaksanaan pilkada. Angka golput yang mencapai diatas 30% semakin memberi indikasi kuat terjadinya penurunan partisipasi politik rakyat pada pilkada dan dampaknya juga terjadi pada pemilu 2009 lalu. Memang sebagian disebabkan oleh persoalan teknis, seperti surat panggilan yang tidak diterima pemilih, ketidaksesuaian data pemilih, atau juga masalah kartu suara. Namun, jika persoalannya muncul karena non teknis, inilah yang berbahaya. Seseorang tidak memilih, mungkin juga karena ia memang tak meminatinya. Rakyat tak berminat memilih calon yang ada, karena tidak percaya kepadanya. Mereka merasa sudah dikhianati dan dicederai kepercayaaannya oleh para elit politik dan wakil-wakil mereka di legislatif.

Sikap apatis sebagian masyarakat terhadap pelaksanaan pilkada dan atau pemilu tak dapat dibendung lagi sebagai ungkapan protes yang berangkat dari hati nurani mereka yang terdalam. Boleh jadi sikap tersebut masih dalam batas kewajaran, namun apabila berdampak pada upaya pemboikotan terhadap pemilu, khawatir mempengaruhi legitimasi pemilu itu sendiri. Memang dalam logika demokrasi, sikap tersebut sah-sah saja. Rakyat bebas memilih, hatta untuk tidak memilih.

Beberapa waktu yang lalu Pengurus Pusat MUI mengeluarkan fatwa mengenai keharaman golput bagi ummat Islam. MUI berpendapat bahwa keharaman itu berlaku sepanjang masih ada calon-calon yang secara moral layak untuk dipilih. Memang memvonis rata dan menganggap sinis kepada semua calon legislatif atau calon presiden bahwa tidak ada yang pantas dipilih, itu tindakan yang tidak tepat. Siapa tahu masih ada yang memiliki hati nurani dan niat yang tulus untuk memperbaiki bangsa ini. Diantara para petualang politik yang cenderung oportunis dan semata-mata untuk mencari keuntungan materi, mungkin saja masih ada pejuang-pejuang sejati yang sungguh-sungguh menyadari akan konsekuensi amanah yang diembannya sebagai anggota dewan atau pemimpin negeri ini.

Memang, harapan dan sikap optimis selayaknya senantiasa dikedepankan, karena berpartisipasi dalam pemilu bagian dari sebuah kesaksian (syahadah). Walaupun ketika menjadi peserta pemilu ia sedang memenuhi hak sebagai warga negara, namun pada hakekatnya ketika ia telah menetapkan pilihannya berarti sudah memberi kesaksian bahwa pilihannya itu dianggap yang terbaik.


2.     Pelembagaan Politik yang tidak mewakili rakyat.

Selain partisipasi politik yang dibutuhkan dalam pembangunan stabilitas politik suatu negara, pelembagaan insitusi politik (Partai Politik hinnga DPR) diperlukan untuk melembagakan partsipasi politik dari masyarakat. Dalam memahami pelembagaan politik ini terdapat dua pembilahan mendasar antara hubungan pelembagaan politik dengan partisipasi politik yakni sistem politik dengan pelembagaan politik yang rendah dengan partisipasi politik yang tinggi dimana kekuatan sosial menggunakan cara mereka sendiri berkasi di tengah – tengah arena politik disebut sebagai negara pretorian sedangkan sistem politik yang pelembagaan politik serta diimbangi dengan adanya partisipasi politik yang tinggi disebut sebagai negara kerakyatan. (civic polities) Dalam konteks ini, negara praetorian biasanya terjadi di negara yang akar pembangunan demokrasinya belum menancap kuat dalam masyarakat sehingga mereka belum mampu melakukan usaha – usaha resistensi terhadap negara belum kuat seperti di negara – negara Amerika Selatan yang notabene sebagian besar dipimpin oleh rezim diktator militeristik, sebaliknya negara dengan pelembagaan serta partisipasi politik yang kuat biasanya memiliki tradisi demokrasi yang panjang seperti negara – negara Eropa Barat dan Amerika Utara. Khusus untuk negara yang “dicap” praetorian, bila lembaga politik lemah terhadap negara maka diperlukanlah stabilitas dalam bentuk institusionalisasi partai politik contohnya adalah Meksiko dengan PRI (Partide Revolucionario Institucional), partai ini disebut sebagai lembaga super politik di Meksiko karena lembaga ini mampu melakukan resistensi terhadap militer malahan melebihi koherensi militer itu sendiri .

Di Indonesia justru lembaga Politiklah yang menyebabkan ketidakstabilan Politik, beikut ini masalah lembaga yang menyebabkan ketidakstabilan politik:

  • DEWAN PERWAKILAN RAKYAT TIDAK MEWAKILI RAKYAT
Untuk kasus Indonesia, masalah yang sangat mendasar dihadapi oleh rakyat yakni para wakil rakyat tidak lagi mewakili keinginan rakyat, seperti dilansir oleh Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), FITRA mencatat 'dosa-dosa' DPR antara lain:
1.Pembangunan gedung mewah berfasilitas SPA dan kolam renang dengan nilai Rp1,8 triliun.
2.Biaya pelantikan yang mewah Rp12 triliun.
3.Anggaran plesiran ke luar negeri Rp170 triliun.
4.Pembahasan RUU inisiatif DPR sebesar Rp170 milliar.
5.Dana aspirasi Rp8,4 triliun.
6.Bagi-bagi cek kosong Rp1,1 triliun.
7.Dana penyelewengan pembangunan Rumah Jabatan Anggota di Kalibata yang nilainya triliunan.

Belum lagi manuver-manuver politik dagang sapi, barter kasus hingga study banding berlebihan yang dilakukan oleh lembaga politik ini, makin meningkatkan ketidakstabilan kondisi politik NKRI.

  • KONFLIK ANTAR PARTAI POLITIK
Konflik-konflik yang terjadi antar partai di era Demokrasi Liberal seperti yang telah disinggung pada pendahuluan, menjadi permasalahan utama yang akan dibahas berkaitan dengan dampak yang ditimbulkan oleh konflik tersebut, seiring dengan berlakunya sistem parlementer pada saat itu.

Konflik-konflik tersebut terjadi karena di dalam menjalankan peran dan fungsi dari masing-masing partai terjadi benturan-benturan baik dari segi ideologi, pemanfaatan isu nasional, dan hal ini terlihat jelas pada perjalanan masing-masing partai pada masa Demokrasi Liberal saat itu. Dengan menggunakan ideologi, sebuah partai mencoba untuk menyerang partai lainnya. Caranya adalah menghubungkan ideologi masing-masing dengan isu-isu nasional yang dianggap dapat mengurangi pengaruh bahkan menjatuhkan partai lainnya. Setiap partai mempunyai kelompok-kelompok sosial tertentu yang dijadikan wahana untuk mencari pengaruh dan memperjuangkan ideologi masing-masing.

Dinamika politik yang tidak stabil yang tergambar dengan sering terjadinya pergantian kabinet merupakan dampak dari konflik di atas. Untuk melihat bagaimana dinamika politik selama masa Demokrasi Liberal, antara lain dapat ditempuh melalui jumlah pergantian kabinet yang demikian cepat, dari kabinet yang satu ke kabinet yang lain. Seperti dikutip oleh Arbi Sanit, selama Indonesia merdeka, tak kurang dari 25 kabinet yang telah memerintah Indonesia, selain itu ahli lain juga menghitung usia rata-rata dari 12 kabinet di era Demokrasi Liberal, tak lebih dari 8 (delapan) bulan.

Oleh karena itulah sistem multi partai dikatakan sebagai sumber konflik nasional pada saat itu, dikarenakan konsekuensi dari sistem tersebut yaitu terjadinya konflik horizontal antar partai yang membuat situasi politik yang tidak stabil.

Salah satu definisi partai politik yang menggambarkan adanya kemungkinan terjadinya konflik antar partai adalah definisi yang dikemukakan oleh Sigmund Neumann dalam karangannya Modern Political Parties, yaitu sebagai berikut : “ Partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan-pandangan yang berbeda”
Selain itu, dalam menjalankan perannya dalam kehidupan politik nasional, partai politik menyelenggarakan beberapa fungsi sebagai berikut:
1.                   Partai sebagai sarana komunikasi politik,
2.                   Partai sebagai sarana sosialisasi politik,
3.                   Partai politik sebagai saran rekruitmen politik,
4.                   Partai politik sebagai sarana pengatur konflik.
Ke-empat fungsi di atas akan coba dikaji sejauh mana partai-partai politik yang hidup di era Demokrasi Liberal dengan sistem multi partainya dapat berperan sebaik mungkin dengan menjalankan fungsi-fungsi di atas sebagai mana mestinya.

  • FUNGSI PARTAI POLITIK YANG TIDAK TERLAKSANA 
Selanjutnya, fungsi partai politik sebagai sarana pengatur konflik sepertinya tidak dapat diperankan secara sempurna oleh partai-partai poltik yang ada pada era Demokrasi Liberal. Hal ini dapat dibuktikan dengan Merujuk pada kenyataan yang terjadi pada saat itu. Partai politik tidak memprioritaskan programnya kepada usaha untuk tercapainya integrasi nasional, melainkan berusaha untuk mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing.

Ke-empat fungsi partai yang diperankan oleh partai-partai politik pada sistem multi partai sungguh cenderung mengacu pada terjadinya konflik. Namun hal ini tidak membuat sistem multi partai menjadi tidak relevan di suatu negara demokrasi, karena bila merujuk kepada definisi partai politik yang di kemukakan oleh Sigmund Neumann, maka apapun sistem yang digunakan, tetap tidak akan dapat merubah sifat dari partai politik itu sendiri, yaitu berusaha untuk meraih kekuasaan dan merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan antar partai yang mempunyai pandangan yang berbeda-beda.  Oleh karena itu, usaha yang dapat dilakukan untuk meminimalisasikan potensi konflik adalah dengan mengadakan perubahan yang menyangkut cara-cara merebut dan mempertahankan kekuasaan, mencari dukungan dengan meninggalkan cara-cara yang mengarah kepada anarkisme, seperti tuduhan-tuduhan, tudingan-tudingan, dan lain-lain. Cara-cara yang digunakan hendaknya bersifat lebih kompromistis melalui jalur-jalur dialogis, sehingga perbedaan yang memang suatu hal yang wajar dalam kehidupan demokrasi tidak menjadi dasar dari timbulnya perpecahan, melainkan menjadi landasan terciptanya integrasi nasional yang mantap.

3 komentar:

  1. terimakasih infonya :)
    tapi tulisannya terlalu tipis maklum saya rada rabun, hhe...
    kasih saran aja, backgroundnya terlalu mencolok sist..
    jadi yg lebih kontras background nya bukan tulisannya :)
    thx ya..

    BalasHapus